Akankah Perempuan Mendapat Keadilan di Tengah Sistem yang Melanggengkan Penindasan?

Ketika kita berbicara tentang keadilan untuk perempuan, satu pertanyaan yang kerap mengemuka adalah: apakah keadilan benar-benar mungkin tercapai dalam sistem yang telah lama melanggengkan ketidaksetaraan? Realitasnya, perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, masih terus menghadapi diskriminasi yang terstruktur dan sering kali tidak disadari. Ketidaksetaraan ini tidak hanya muncul di ruang publik, tetapi juga menyusup ke dalam ruang pribadi: rumah tangga, tempat kerja, bahkan dalam sistem hukum yang seharusnya menjadi pelindung mereka.


Sistem yang Membentuk Budaya Penindasan
Akar dari persoalan ini adalah sistem patriarki—sebuah tatanan sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Sistem ini tidak hanya membentuk struktur institusional, tetapi juga mengakar dalam budaya dan nilai yang diwariskan lintas generasi. Perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat, dilabeli sebagai makhluk “kodrati” yang tugas utamanya adalah melayani, bukan memimpin. Yang lebih mengkhawatirkan, penindasan ini sering kali tidak disadari bahkan oleh perempuan itu sendiri, karena telah dianggap sebagai hal yang “biasa” dan “wajar”.

Penindasan yang Diam-diam Menyakiti
Bentuk penindasan terhadap perempuan sering kali tidak tampak dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi muncul sebagai tekanan psikologis dan beban sosial yang berat. Di dunia kerja, kesenjangan upah dan ketidaksetaraan kesempatan promosi menjadi masalah klasik. Perempuan yang bekerja juga sering kali menghadapi beban ganda: berperan sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga. Beban ini tidak jarang menyebabkan kelelahan kronis, gangguan tidur, dan penurunan daya tahan tubuh. Kondisi seperti ini dapat berkembang menjadi burnout, depresi, atau gangguan kecemasan umum—suatu gejala yang kerap tidak dikenali karena dibungkus dalam label “tangguh” dan “kuat”.

Di ruang domestik, budaya yang menuntut perempuan untuk selalu “mengalah” membuat banyak dari mereka memendam emosi, tidak memiliki ruang untuk mengungkapkan tekanan yang dirasakan. Penelitian menunjukkan bahwa penindasan psikologis jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit psikosomatik, seperti migrain, gangguan pencernaan, hingga gangguan autoimun, yang dipicu oleh stres kronis yang tidak tersalurkan.

Dalam sistem hukum, ketidakadilan semakin kentara. Banyak kasus kekerasan seksual yang justru menyudutkan korban. Alih-alih mendapatkan perlindungan, perempuan korban sering kali mengalami victim blaming. Proses hukum yang panjang dan melelahkan, serta minimnya dukungan psikologis, memperparah luka yang dialami. Akibatnya, banyak korban yang mengalami trauma berkepanjangan, bahkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Perlawanan sebagai Proses Penyembuhan Kolektif
Namun di tengah tekanan yang begitu kuat, perempuan tidak diam. Perlawanan hadir dalam berbagai bentuk: dari protes sosial, advokasi hukum, hingga gerakan komunitas dan media sosial. Kampanye seperti #MeToo dan #SayaJuga bukan hanya bentuk solidaritas, tetapi juga cara perempuan menyembuhkan diri dari luka kolektif akibat sistem yang selama ini membungkam.

Kesadaran ini juga mendorong perubahan paradigma dalam melihat isu kesetaraan gender. Kini semakin banyak yang memahami bahwa perjuangan perempuan bukan semata soal hak ekonomi atau hukum, tetapi juga tentang hak atas kesehatan jiwa, tubuh, dan martabat. Dalam konteks ini, kesetaraan bukan hanya alat perlawanan, tetapi juga proses penyembuhan.

Menuju Sistem yang Lebih Adil dan Sehat
Langkah menuju keadilan bagi perempuan harus dimulai dari transformasi sistemik: pendidikan yang bebas dari bias gender, hukum yang melindungi korban tanpa menyudutkan, serta lingkungan kerja dan keluarga yang menumbuhkan rasa aman dan dihargai. Selain itu, kesehatan perempuan—baik fisik maupun mental—harus menjadi bagian dari agenda utama kebijakan publik. Layanan kesehatan mental harus lebih mudah diakses, dan stigma terhadap perempuan yang mengalami gangguan psikologis harus dihapuskan.

Kesetaraan gender bukan hanya soal membagi peran, tetapi tentang memanusiakan manusia, memberikan ruang agar perempuan bisa tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut, tanpa tekanan berlebih, dan tanpa harus mengorbankan kesehatannya demi memenuhi ekspektasi sosial yang tidak adil.

Harapan: Dari Luka Menuju Kekuatan
Meski perjalanan menuju keadilan masih panjang, harapan itu nyata. Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam, tetapi setiap kesadaran yang tumbuh, setiap suara yang tak lagi bungkam, dan setiap solidaritas yang dibangun, adalah bukti bahwa perjuangan ini berarti. Karena keadilan untuk perempuan bukan sekadar mimpi, melainkan kebutuhan nyata untuk menciptakan dunia yang sehat secara fisik, mental, dan sosial—untuk semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *