Dalam istilah Pierre Bourdieu (1972), merambahnya AI ke arena akademik dapat menyebabkan perbedaan antara habitus intelektual dan logika produksi otomatis. Hal ini dapat mengubah prinsip-prinsip penting dalam praktik ilmiah di perguruan tinggi. Saat ini, AI sedang mengubah atmosfer akademik. Beberapa alat, seperti Grammarly dan ChatGPT, tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu, tetapi juga menjadi mitra bagi dosen dan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas ilmiah. Di tengah keadaan ini, muncul pertanyaan penting tentang apakah kecerdasan buatan hanyalah alat yang dapat diterima untuk kemajuan ilmu pengetahuan atau malah merupakan bahaya bagi moralitas dan martabat akademis?
Penulis percaya bahwa disrupsi kecerdasan buatan bukan hanya masalah teknologi, ini fenomena kultural. Menulis karya ilmiah bukan hanya aktivitas teknis, tetapi juga merupakan praktik sosial, melibatkan teknik berpikir, ekspresi identitas keilmuan, dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh komunitas akademik. Antropologi melihat teknologi sebagai komponen budaya. Oleh karena itu, ketika kecerdasan buatan digunakan untuk menggantikan proses menulis dan berpikir, kita tidak hanya membahas alat yang netral, tetapi juga perubahan fundamental dalam cara manusia mengumpulkan dan menyebarkan pengetahuan. Ini adalah titik kritis dalam perubahan praktik akademik saat ini.
AI dan reposisi makna menulis
Dalam tradisi akademik, menulis adalah manifestasi dari berpikir. Melalui menulis, seseorang merumuskan gagasan, menyusun argumen, dan menegaskan posisi ilmiahnya. Namun, kehadiran AI mulai mengubah pemahaman ini. Ketika teks dapat dihasilkan dalam sekejap oleh mesin, proses kreatif yang biasanya memerlukan waktu dan usaha mental menjadi tereduksi.
Dari kacamata antropologi, perubahan ini menunjukkan pergeseran nilai budaya. Kita bergerak dari budaya yang mengutamakan refleksi menuju budaya yang menginginkan segala sesuatu secara instan; dari menulis sebagai perjalanan intelektual menjadi menulis sebagai produk yang cepat dan praktis.
Kemudian, seorang antropolog teknologi Brian Pfaffenberger (1992) mengembangkan teori bahwa teknologi bukan hanya alat, tetapi sistem simbolik yang membawa serta nilai, makna, dan relasi sosial tertentu. Dalam konteks AI, ini berarti kehadiran AI dalam penulisan ilmiah bukan sekadar soal efisiensi, tapi membawa ideologi budaya: otomatisasi, kecepatan, dan impersonalisasi. Ini menggeser nilai lama seperti refleksi, kedalaman, dan tanggung jawab personal dalam menulis.
Lebih dari sekadar etika
Pertanyaan yang muncul bukan hanya: “Apakah ini etis?” Tetapi juga: “Apa yang sedang berubah dalam budaya akademik kita?” Antropologi mengajarkan bahwa setiap teknologi membawa logika budayanya sendiri. AI memperkenalkan logika efisiensi, kecepatan, dan otomatisasi yang mungkin bertentangan dengan tradisi akademik yang menghargai kedalaman berpikir, dialog, dan skeptisisme ilmiah. Ketika mahasiswa mendelegasikan tugas akhir mereka kepada mesin, atau dosen mengandalkan AI untuk menyusun proposal penelitian, yang terancam bukan hanya kualitas karya, tetapi juga esensi keilmuan itu sendiri.
Sejumlah jurnal ilmiah kini melarang penggunaan AI sebagai penulis karena ketidakmampuannya untuk bertanggung jawab atas karya yang dihasilkan. Kebijakan ini mencerminkan prinsip antropologis bahwa pengetahuan adalah hasil relasi terbentuk melalui interaksi, bukan produksi otomatis semata.
Kita perlu mengembangkan etika budaya baru dalam menghadapi AI. Artinya, AI harus digunakan secara kritis, bukan secara konsumtif. Ia seharusnya berperan sebagai pendamping dalam berpikir, bukan pengganti pemikiran itu sendiri. Dunia akademik Indonesia perlu membuka ruang diskusi yang luas dan inklusif agar transformasi ini tidak merusak fondasi keilmuan, melainkan memperkuatnya. Dunia akademik Indonesia perlu proaktif dalam menyikapi transformasi ini. Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain: Membuka ruang diskusi yang luas dan inklusif tentang penggunaan AI, Mengembangkan pedoman etika yang jelas tentang pemanfaatan teknologi dalam penulisan akademik, memperkuat pendidikan literasi digital yang kritis bagi mahasiswa dan dosen, mendorong penelitian tentang dampak AI terhadap praktik akademik lokal.
Melalui perspektif antropologi, kita diingatkan bahwa teknologi bukan hanya soal kecanggihannya, tetapi juga nilai-nilai yang kita bawa bersamanya. AI mungkin dapat mempercepat pekerjaan teknis, tetapi tidak mampu menggantikan kontemplasi, perenungan, dan tanggung jawab moral yang menjadi inti dari karya akademik. Dalam dunia akademik, unsur-unsur inilah yang membuat sebuah tulisan tidak sekadar kumpulan kata, melainkan pencapaian intelektual yang bermakna. Kemampuan untuk meragukan, merefleksikan, dan mempertanggungjawabkan pemikiran adalah aspek-aspek yang tidak dapat direplikasi oleh mesin, betapapun canggihnya teknologi tersebut.
Teknologi sebagai cerminan nilai dan kesehatan
Melalui perspektif antropologi, kita diingatkan bahwa teknologi bukan hanya soal kecanggihannya, tetapi terutama tentang nilai-nilai yang kita bawa bersamanya. AI dalam dunia akademik harus menjadi alat untuk memperkaya proses intelektual, bukan menggantikan esensi dari kerja ilmiah itu sendiri. Tantangan kita saat ini adalah memastikan bahwa transformasi digital justru memperkuat, bukan melemahkan, fondasi keilmuan yang telah dibangun dengan susah payah.
Di sisi lain, kita juga bisa melihat AI sebagai elemen yang mendukung kesehatan intelektual, bukan sebagai penyakit atau kesakitan dalam proses ilmiah. Penggunaan AI untuk membantu menulis, mencari referensi, atau mengatur argumen bisa dipandang sebagai sarana untuk menjaga kesehatan mental akademik, mengurangi beban kognitif yang sering membuat mahasiswa dan penulis ilmiah mengalami stres. AI seharusnya bukan dianggap sebagai ancaman terhadap kemampuan intelektual manusia, melainkan sebagai alat untuk memperkuat kesehatan akademik, dengan membantu individu lebih fokus pada refleksi mendalam, pengembangan ide, dan diskusi. Seperti dalam praktik medis, alat yang digunakan dengan bijak dapat memperbaiki kondisi seseorang, AI dalam penulisan ilmiah bisa menjadi unsur kesehatan, bukan kesakitan.