Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan anggaran bidang kesehatan 2024 yakni, mendorong reformasi dan pelayanan dasar serta kesehatan secara merata, dan sekarang dengan tumbuhnya teknologi bidang kesehatan yang maju secara pesat, harus dijawab dengan kemampuan Indonesia yang tidak hanya di bidang rumah sakit, tetapi juga di industri farmasi. Hemat penulis, postur anggaran serupa ini masih berorientasi pada skema industri penyakit yang dalam tinjauan antropologi dinyatakan bahwa industri penyakit sebagai wahana medikalisasi yang bernuansa penjualan produk medis, sehingga praktisi antropologi kesehatan wajib mendefinisikan ulang apa itu penyakit? John Bellamy Foster dalam buku The Vulnerable Planet (1994) berpendapat bahwa di bawah kapitalisme, pelayanan kesehatan menjadi komoditas dan bukan public goods. Kemudian kita belum menjawab tuntas pertanyaan George M. Foster (1995), bagaimanakah faktor kultural dan sosial sangat mempengaruhi penyakit?
Padahal terjadinya penyakit, disebabkan hadirnya konstruksi sosial budaya, buah dari sistem ekologis, dipengaruhi faktor perilaku kesehatan dan persepsi sakit, aspek sosial, budaya dan pandangan ekonomi. Mengapa anggaran negara belum digerakkan ke mega proyek pemaksimalan perilaku kesehatan dan indoktrinasi budaya kesehatan, sehingga melahirkan intoleransi terhadap sakit dan penyakit? Inisiasi seperti ini mutlak membutuhkan ketukan palu legislatif sebagai mimbar kuasa untuk sebuah keputusan politik kesehatan. Tujuannya agar mendapat legitimasi politik, hukum dan etika kesehatan, untuk selanjutnya diberlakukan regulasi perilaku pro kesehatan masyarakat dengan perangkat reward and punishment sebagai sebuah pembelajaran.
Dengan dukungan serupa ini, potensial menciptakan investasi kesehatan bagi populasi sebesar Indonesia yang tetap produktif, guna mendukung The Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda pembangunan berkelanjutan 2030 dalam mengatasi berbagai tantangan global, termasuk kemiskinan, kesenjangan, perubahan iklim, degradasi lingkungan, perdamaian, keadilan, dan tentunya menyambut Indonesia Emas 2045, utamanya kesehatan dan kesejahteraan yang layak, menggaransi hidup sehat dan meningkatkan kinerja dan produktivitas bagi populasi. Apatah lagi tahun 2030, Indonesia akan menuju puncak bonus demografi, 68,3% dari total populasi Indonesia berusia produktif.
Industri penyakit
Data lain dari Annasa Rizki Kamalina (2023) melaporkan beberapa arah kebijakan utama yang akan dijalankan meliputi penajaman intervensi untuk penurunan stunting, peningkatan kualitas dan distribusi tenaga kesehatan, dan penguatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mendukung penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah merancang anggaran kesehatan 2024 hingga Rp200 T, lebih tinggi dari era pandemi Covid-19.
Sakit adalah posisi transisi antara dua opsi, sembuh atau meninggal dunia! Ranah industri penyakit identik dengan industri kesehatan, bahkan dapat disebut industri kesakitan yang di dalamnya mencakup hal ikhwal profit dan penyediaan pelayanan produk kesehatan, dan menyelenggarakan pelayanan orang sakit dengan tujuan wabil khusus perdagangan. Sehat itu indah dan hal luar biasa di balik fakta bahwa sakit adalah manusiawi sebagai risiko fase bipolar dari ensiklopedi sehat dan sakit. Tetapi tetap saja manufaktur industri kesakitan adalah sesuatu yang tidak diinginkan karena menimbulkan ketidaknyamanan.
Investasi kesehatan
Investasi kesehatan, manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas, dengan dampak jangka panjang pada kesehatan populasi. Investasi kesehatan adalah investasi masa depan ASEAN Tujuan utama investasi kesehatan adalah meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Ini termasuk memperpanjang umur harapan hidup, mengurangi insiden penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup. Investasi ini biasanya dilakukan dengan pendekatan jangka panjang, dengan fokus pada manfaat sosial dan ekonomi yang luas. Investasi kesehatan merujuk pada alokasi sumber daya (finansial, infrastruktur, manusia) untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Ini bisa dilakukan oleh pemerintah, organisasi non-pemerintah, perusahaan swasta, atau individu, dengan tujuan jangka panjang untuk memperbaiki hasil kesehatan dan kualitas hidup populasi (Kemenkes, 2023).
Barangkali ada kesulitan negara dalam mendata jumlah populasi sehat di Indonesia, seluruh negara juga mengalami kendala dalam menghitung jumlah orang sehat secara matematis oleh adanya variasi medan persepsi setiap individu bahkan institusi tentang batasan sehat seperti dari aspek pandangan masyarakat tradisional dan modern, tinjauan ekonomi bahkan pandangan antropologi kesehatan. Tetapi itu dapat dilakukan dengan menghitung kasar jumlah populasi menderita sakit di rumah sakit, klinik bahkan unit pelayanan medis terkecil. Maka, estimasi biostatistika populasi penderita karena sakit di Indonesia, kisaran 10-20% dan populasi sehat sekitar 60-80%.
Bila populasi 60-80% ini ditatakelola secara opsimal dan tak melupakan populasi orang sakit, maka ada ruang optimisme di sana bahwa Indonesia akan menjadi negara besar membuat rakyatnya berdaya bidang kesehatan, berkelindan sehat jiwa, raga, sosial dan produktif serta hidup sangat layak sesuai amanat UUD 1945, yakni Pasal 34 Ayat 2: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”, dan Pasal 34 Ayat 3: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
Selanjutnya, negara dapat memetakan tingkat keparahan perilaku kesehatan sesuai data yang diperoleh di lapangan, melakukan analisis statistika (kuantitatif) dan analisis tematik (kualitatif) terhadap kategori-kategori perilaku kesehatan ringan, sedang, dan berat/parah. Hal ini bukanlah perkara sulit untuk dimanifestasikan jika kemauan kuat negara, instansi terkait dan tentunya populasi itu sendiri sebagai kelompok-kelompok budaya yang kelak mengorbitkan budaya dan perilaku kesehatan yang berkelanjutan.
Muh.Arsyad Rahman
Doktor Antropologi dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar