AI, Temuan Penyakit, dan Kerawanan Budaya

Seorang ibu di antara pelayanan kesehtan modern dan tradisional

Asumsi dalam kajian antropologi kesehatan, ada kemungkinan berbagai budaya akan menerima atau menolak penggunaan AI dalam pelayanan kesehatan (medical services). Dalam budaya tertentu, prinsip kekerabatan dan kekeluargaan selaku basis sosiologis psikologis antarindividu. Hal ini dapat menjadi alasan untuk menolak jika AI dianggap mengurangi kelembutan sentuhan manusia. Penyembuh dan profesional kesehatan memiliki status sosial yang tinggi di beberapa budaya, akan resisten terhadap AI jika dianggap mengancam posisi dan wilayah teritorial mereka.
Berikutnya, interaksi manusia sangat beragam dalam pelayanan kesehatan. Orang-orang dalam budaya yang menekankan hubungan personal mungkin melihat AI sebagai ancaman bagi kualitas pelayanan kesehatan, dan nilai-nilai moral kolektif seperti keadilan sosial dan akses yang setara dapat mempengaruhi penerimaan AI.
Jika AI dianggap meningkatkan kesetaraan, maka penerimaannya akan tinggi atau sebaliknya. Benar apa yang diungkapkan M.Dwi Syahruramadhana (2024), antropologi kesehatan, membantu kita memahami perubahan sosial kesehatan yang terjadi, bagaimana masyarakat beradaptasi dengan teknologi kesehatan yang kian deras, dan dapat bermanfaat dalam merancang kebijakan publik perihal kesehatan yang lebih inklusif dan efektif.
Dalam jurnal Health Management, Policy and Innovation, Nivisha Parag, dkk (2023) menulis tema Promoting Cultural Inclusivity in Healthcare Artificial Intelligence: A Framework for Ensuring Diversity. Mereka mengakui, kecerdasan buatan (AI) terbukti menjadi kekuatan transformatif dalam perawatan kesehatan, menjanjikan diagnosis, pengobatan, dan perawatan pasien yang lebih baik. Namun, penerapan AI dalam perawatan kesehatan bukannya tanpa tantangan, terutama dalam konteks keberagaman budaya. Mereka juga mengusulkan kerangka kerja untuk adopsi AI dalam lingkungan yang beragam secara budaya, dengan menekankan pentingnya pertimbangan etika, transparansi, dan kompetensi budaya. Keberhasilan penerapan AI dalam perawatan kesehatan memerlukan pemahaman yang mendalam tentang lanskap budaya yang beragam yang mempengaruhi praktik perawatan kesehatan dan pengalaman pasien di seluruh dunia.
Dalam Cultural Competence in AI: A Case Study in Nigeria” oleh World Economic Forum (WEF) menemukan bahwa di beberapa bagian Nigeria, ada penolakan terhadap teknologi AI dalam kesehatan, sebagian karena kepercayaan pada pengobatan tradisional dan skeptisisme terhadap teknologi modern. Brasil menunjukkan penerimaan yang beragam, dengan kota-kota besar seperti Sao Paulo dan Rio de Janeiro lebih menerima dibandingkan daerah pedesaan (Adopting AI in Healthcare: Brazil’s Experience” di Journal of Global Health.) Penerimaan atau penolakan terhadap AI dalam kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Negara-negara dengan dukungan pemerintah yang kuat dan populasi yang melek teknologi cenderung lebih menerima AI, sementara daerah dengan kepercayaan kuat pada pengobatan tradisional atau infrastruktur teknologi yang kurang memadai cenderung lebih skeptis.
Rawan budaya
Budaya yang menjadi kebiasaan di masyarakat akan berdampak pada cara masyarakat dalam menangani dan memahami kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan termasuk yang berkaitan dengan kesehatan dan penyakit (Sigurdson, 2014). Kebiasaan masyarakat dalam menapaki keseharian yang berkaitan dengan kesehatan adalah ‘algoritma’ itu sendiri, dan bagaimanapun, algoritma yang dapat mengurai data budaya dapat membantu dalam membuat program literasi kesehatan yang disesuaikan dengan konteks budaya. Ini memungkinkan AI untuk membuat materi literasi yang relevan dan mudah diterima komunitas. Hal ini berarti, peran budaya dalam keberhasilan penerapan AI memang sangat penting dan tidak bisa disepelekan.
Setiap masyarakat memiliki norma dan nilai budaya yang berbeda-beda, yang mempengaruhi bagaimana teknologi diterima dan digunakan. Misalnya, di beberapa budaya, ada kekhawatiran tentang privasi yang dapat mempengaruhi penerimaan teknologi AI yang memerlukan data pribadi. Persepsi masyarakat terhadap teknologi AI, termasuk rasa percaya atau ketidakpercayaan terhadap teknologi baru, sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya mereka. Misalnya, masyarakat yang lebih terbuka terhadap inovasi teknologi mungkin lebih cepat mengadopsi AI dibandingkan dengan masyarakat yang lebih tradisional.
AI berpotensi untuk mengatasi masalah kesehatan yang berbenturan dengan rawan budaya dengan analisis kultural, memahami konteks budaya dengan menggunakan teknik pemrosesan bahasa natural. Pengembangan program komputasional yang disesuaikan dengan budaya. Penerjemahan dan telemedicine dengan AI meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan dan menganalisis data untuk menilai dan meningkatkan program kesehatan berbasis budaya. Dengan memasukkan AI ke dalam penelitian dan praktik kesehatan masyarakat, kita dapat membuat solusi yang lebih inklusif dan efisien untuk mengatasi masalah kesehatan yang disebabkan oleh budaya.
Tetaplah berhati-hati
Manusia menghadapi praktik dan aplikasi teknologi, yang masih dapat disebut sebagai eksperimen terhadap manusia. Sementara AI hanya dapat berfungsi dengan seperangkat data yang tersedia dan dapat dibaca melalui algoritma via diagram alur atas angka-angka numerik dan kategorik, sisi lain ada perbedaan mendasar antara manusia (memiliki emosi, simpati, empati), sedang AI memiliki kognisi tanpa emosi.
AI adalah mesin yang memproses data dan melakukan tugas berdasarkan algoritma yang telah diprogram. AI tidak memiliki emosi dan tidak dapat merasakan atau memahami perasaan manusia. Adalah benar bahwa AI dapat mensimulasikan respons emosional melalui pemrograman dan pemrosesan bahasa alami, tetapi ini hanyalah tiruan dan bukan perasaan yang sesungguhnya. Kehadiran AI tak perlu ada yang dibuang karena dia adalah instrumen untuk fungsi efisiensi pekerjaan medis, maka sebagai manusia, kita tak boleh membuang sesuatu atas kehadiran sesuatu, laksana tuna netra yang dinyatakan sembuh, lalu alat yang pertama yang dibuang adalah tongkat.
Karena itulah, tenaga medis dan pasien harus tetap berhati-hati saat menggunakan AI di rumah sakit, klinik atau di sentra pelayanan medis. Alasan anthroposnya, manusia menemukan AI (Alan Turing, 1950 dan John McCarthy, 1956) dan akan bertumbuh menjadi budaya, manusia juga harus mengontrol secara seksama perihal AI untuk kepentingan budaya kesehatan dan peradaban kesehatan yang lebih humanistik.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *