Dalam karya Aristoteles, Nicomachean Ethics (350 SM) dan Politics (330 SM), pandangannya perihal pendidikan sangatlah substantif, ia menekankan alangkah perlunya ekuilbirum antara intelektual, moral, dan jasmani untuk menapaki kehidupan agar lebih bermakna. Namun, Aristoteles lebih dominan membahas tentang pendidikan di karya politics-nya akan pentingnya pendidikan. Aristoteles berpendapat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara dan harus diberikan kepada semua warga negara. Sangat penting untuk membangun warga negara yang baik dan negara yang baik. Dengan sintesa Aristoteles tersebut, maka penulis berpendapat bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah menciptakan manusia yang baik (human).
Kurikulum nasional Indonesia mengalami perubahan sebelas kali, sejak kemerdekaan 1945, dipermula dengan Kurikulum I (Rentjana Pelajaran 1947) dengan muatan dan fondasi awal yang sangat penting untuk pembangunan sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan, hingga Kurikulum XI yaitu Kurikulum Merdeka (2021) yakni usaha besar untuk mengubah sistem pendidikan Indonesia dengan menggunakan pendekatan yang lebih adaptif, relevan, dan kontekstual. Kurikulum ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih fleksibel dengan berfokus pada pembentukan karakter peserta, keterampilan abad ke-21, dan kesiapan untuk masa depan dengan memberikan lebih banyak kebebasan kepada guru dan sekolah.
Kurikulum pertama hingga ke sebelas, dimodifikasi dari waktu ke waktu, dilandasi pada desakan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan struktur sosial budaya masyarakat Indonesia. Ditambah dengan evaluasi pembelajaran di setiap penyelenggaraan kurikulum nasional, termasuk dari aspek pedagogis dan andragogis. Tentunya juga atas seruan bahwa penyelenggaran pendidikan nasional siap sedia go international. Tetapi, kurikulum akan terus berubah jika dikaitkan dengan pernyataan Nadiem Makarim (2019) bahwa pendidikan Indonesia harus lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan global, termasuk perubahan kurikulum. Akan halnya dengan Arief Rachman (2010) menyatakan perlunya fleksibilitas dan relevansi dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Begitu pun Muhadjir Effendy (2018) melihat perubahan kurikulum sebagai sesuatu yang esensial dan berkelanjutan, diperlukan advokasi kurikulum yang memuai, penyesuaian, dan bertalian dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, kurikulum pendidikan akan terus-menerus diubah. Pertanyaannya, sampai kapan?
Tawaran
Penulis memiliki seserpih ide bahwa kurikulum pendidikan kita perlu didefenitifkan dengan didasarkan pada akar budaya kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Inilah induk kurikulum kita dan peta jalan menuju pendidikan lebih baik dan paripurna. Jika pun akan dimofikasi lagi, nama Kurikulum Bhinneka Tunggal Ika tak perlu diubah, sisa yang disusupkan adalah konten pendidikan. Tujuannya adalah untuk membangun generasi yang menghargai keberagaman dan kuat.
Program pendidikan ini memerlukan dukungan dari banyak pihak, seperti guru, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Penguatan pendidikan karakter seperti yang pernah diceturkan Presiden Joko Widodo tahun 2016 lalu, Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) ini merupakan bagian dari upaya negara untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia dan menekankan betapa pentingnya nilai-nilai karakter untuk menghasilkan generasi muda yang jujur. Topik utamanya dapat berupa penegasan akan nilai-nilai karakter misalnya toleransi, penghargaan, dan kerja sama. Semua bidang pendidikan memiliki pendidikan karakter guna menghormati keberagaman budaya, pelajaran tentang bahasa, tradisi, dan budaya lokal Indonesia dimasukkan. Ini mendorong peserta didik, belajar dan menghargai kekayaan budaya bangsa sendiri.
Pembelajaran inklusif juga diperlukan untuk memastikan setiap peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang tanpa memandang budaya, agama, atau suku mereka. Selain itu, proyek dan kegiatan gotong royong, yang berarti bahwa peserta didik dari berbagai latar belakang harus bekerja sama. Ini dapat berupa program amal, acara seni budaya, atau inisiatif sosial. Pendidikan multikultural harus menjadi bagian dari kurikulum jika dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran peserta didik. Ini akan sangat penting untuk membangun keberagaman dan masyarakat yang damai.
Manfaat
Pendidikan adalah konstruksi sosial seperti yang diungkapkan Lev Vygotsky (1920) berpendapat bahwa belajar adalah proses sosial yang terjadi dalam konteks budaya dan interaksi sosial, dan juga Emile Durkheim (1902) mengemukakan bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam menciptakan solidaritas sosial. Pendidikan perlu menanamkan nilai dan kebiasaan sosial yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankan solidaritas sosial suatu bangsa Ia berpendapat bahwa pendidikan membantu orang belajar tentang tanggung jawab dan kewajiban sosial mereka. Ini membantu menjaga kohesi sosial. Meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap keberagaman.
Dengan memahami dan menghargai perbedaan yang ada di sekitarnya, peserta didik dapat mengurangi konflik dan meningkatkan toleransi. Peserta didik akan tumbuh menjadi orang yang ramah, terbuka, dan mampu bekerja sama dengan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk membangun generasi yang toleran dan inklusif. Pendidikan yang menekankan Bhinneka Tunggal Ika akan memupuk rasa kebangsaan siswa sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang beragam tetapi bersatu.
Seumpama, bangsa ini telah sukses di berbagai kompetensi dan perlbagai rumpun ilmu, mereka akan selalu kembali ke akarnya, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Dengan mempertahankan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia dapat terus maju dan berkembang sambil mempertahankan harmoni sosial dan kebanggaan bangsa. Ini adalah fondasi yang kuat untuk negara yang berkomitmen untuk menghormati dan memelihara keragaman bersama.
Tantangan
Kesiapan Guru dan Tenaga Pendidik: Guru dan tenaga pendidik perlu dilatih agar mampu mengintegrasikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam proses pembelajaran. Penyesuaian Kurikulum Lokal: Setiap daerah memiliki kekayaan budaya yang berbeda, sehingga diperlukan penyesuaian kurikulum agar relevan dengan konteks lokal. Fasilitas dan Sumber Daya: Diperlukan fasilitas dan sumber daya yang memadai untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang mendukung pembelajaran berbasis Bhinneka Tunggal Ika.
Doktor Antropologi dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar.