Bayangkan seseorang mengunggah hasil larinya sejauh 20 kilometer di aplikasi Strava. Teman-temannya memberi “kudos” dan meninggalkan komentar seperti, “Keren banget!” atau “Motivasi pagi-pagi nih.” Namun, bagaimana jika hasil lari itu sebenarnya bukan milik mereka? Inilah tren “joki Strava,” sebuah fenomena unik di mana seseorang membayar orang lain untuk “lari” bagi mereka demi mendapatkan pengakuan di media sosial.
Aplikasi Strava sendiri merupakan platform sosial yang dirancang untuk para atlet. Dengan teknologi GPS, Strava memungkinkan pengguna merekam aktivitas fisik mereka seperti lari, bersepeda, atau bahkan hiking. Data seperti jarak tempuh, kecepatan rata-rata, waktu, dan kalori yang terbakar akan diunggah ke feed pengguna, mirip seperti unggahan media sosial lainnya. Di sinilah letak daya tarik Strava karena bukan sekadar alat pelacak olahraga, tetapi juga ruang untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi sosial.
Namun, tren joki Strava mulai merusak esensi dari olahraga itu sendiri. Alih-alih berolahraga demi kesehatan, sebagian orang termotivasi oleh keinginan untuk terlihat aktif dan keren di mata teman-teman mereka di media sosial. FOMO (fear of missing out) mendorong banyak orang untuk menunjukkan bahwa mereka juga mampu meski hanya secara virtual.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana pengakuan sosial menjadi pendorong utama dalam perilaku olahraga. Dalam teori psikologi, pengakuan sosial adalah bagian dari kebutuhan manusia akan apresiasi dan rasa memiliki. Media sosial seperti Strava menyalurkan kebutuhan ini dengan memberikan fitur interaksi, seperti memberi “kudos” atau komentar pada aktivitas seseorang.
Namun, motivasi seperti ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, penghargaan sosial bisa memotivasi seseorang untuk benar-benar mulai berolahraga. Banyak pengguna Strava merasa lebih termotivasi untuk mencapai target harian atau mingguan karena mereka tahu aktivitas mereka akan dilihat dan diapresiasi oleh orang lain. Penggunaan Strava dalam komunitas lari juga sering kali meningkatkan semangat kelompok, karena orang-orang saling mendorong untuk berprestasi lebih baik.
Di sisi lain, ada orang-orang yang terlalu berfokus pada pengakuan daripada prosesnya. Ketika pengakuan sosial menjadi tujuan utama, maka muncul keinginan untuk memanipulasi data olahraga, salah satunya dengan mempekerjakan joki Strava.
Jasa joki Strava menawarkan peluang menarik bagi orang-orang yang memang menyukai olahraga. Mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan hanya dengan melakukan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, seperti lari jarak jauh. Namun, tren ini juga membawa ironi. Orang-orang yang memanfaatkan jasa joki Strava sebenarnya menghapus manfaat utama olahraga itu sendiri. Mereka tidak mendapatkan kebugaran fisik yang seharusnya menjadi tujuan utama berolahraga. Alih-alih meningkatkan kesehatan, mereka hanya meningkatkan angka di layar, angka yang tidak memiliki dampak nyata pada tubuh mereka.
Tren joki Strava ini menggambarkan perubahan budaya olahraga di era digital. Olahraga tidak lagi sekadar aktivitas fisik, tetapi juga ajang untuk membangun identitas di media sosial. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kita berolahraga demi kesehatan atau demi citra diri?
Dari sudut pandang promosi kesehatan, fenomena ini memberikan pelajaran penting. Media sosial seperti Strava bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk mendorong masyarakat hidup sehat, tetapi juga bisa menjadi pedang bermata dua. Jika terlalu berfokus pada pengakuan sosial, orang-orang dapat kehilangan esensi sebenarnya dari olahraga dan hidup sehat.
Renungan Akhir
Apakah Anda pernah merasa termotivasi untuk berolahraga karena ingin membagikan pencapaian Anda di media sosial? Ataukah Anda pernah merasa tidak percaya diri karena melihat hasil olahraga teman-teman Anda di Strava yang tampak luar biasa? Fenomena joki Strava mengajarkan kita untuk kembali merefleksikan tujuan utama dari olahraga.
Jadi, apakah Anda akan terus berlari demi kesehatan Anda, atau demi angka di layar? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa media sosial seperti Strava digunakan untuk tujuan yang benar, yaitu mempromosikan kesehatan, bukan sekadar pencitraan? Pilihan ada di tangan Anda.