Hikayat Penderita Kusta

Guru besar epidemiologi FKM Unhas, Nur Nasry Noor (2024) menyatakan penemuan kasus baru selalu terlambat, ditemukan setelah menularkan ke orang lain. Pada daerah tertentu yang telah menggunakan sistem surveilans kusta keluarga, yakni bekas penderita kusta yang memeriksa keluarga mereka yang mungkin sedang masa tunas yang cukup panjang, sehingga baru muncul gejala dan segera diobati.

Narasumber pada Course of communicable diseases control in developing countries di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat tahun 1970 itu, mengungkapkan bahwa penderita yang telah berobat minimal tiga bulan secara teratur, tidak akan menjadi sumber penularan lagi. Tetapi jikalau petugas kesehatan yang melakukan case finding, paling petugas rajin memeriksa sampai dua tiga tahun saja. Jadi, waktu baru mulai sakit tidak dideteksi lagi oleh petugas. Nanti gejalanya sudah jelas, dan sudah menularkan baru ditemukan dan diobati. Itupun kadang-kadang satu dua tahun setelah sakit baru ditemukan. Hermeunetiknya, terjadi defisit keterampilan penanganan lepra oleh petugas kesehatan dalam case finding, pengambilan form survey dan tanpa bekal ilmu komunikasi kesehatan dalam penatalaksanaan kusta.

Kutukan

Dalam pandangan antropologi kesehatan, dan didasarkan konsep Émile Durkheim, Mauss, dan Hubert, kusta termasuk dalam dua kajian, yakni magico religious model, yakni kekuatan supranatural yang hakikatnya, dominasi penderita kusta sebagai bentuk hukuman atas pelanggarannya, dan biomedical model, yaitu hidup seperti dikontrol oleh sejumlah proses fisik, biomedik (dapat dipelajari, dianalisis dan dimanipulasi) akan sakit akibat virus, bakteri, jasad renik, dan sebagainya.

Kusta adalah penyakit (disease), menurut konsep patologi. Namun, saat tiba pada cara penderita merespon penyakit (illness), itu konsep kebudayaan. Di Indonesia masih terdapat 113 kabupaten/kota yang belum bebas dari kusta. Angka terbesar ada di Papua, Papua Barat, Maluku Utara, dan Jawa Timur (Budi Gunadi Sadikin, 2024).  Tetapi, ada pertanyaan kritis Nico S. Kalangie (1997), mengapa program kesehatan, menemui kegagalan? Karena bawaan program memunggungi kebudayaan penduduk! Maknanya, hadir konflik kepercayaan bertalian dengan premis budaya, dan adanya model pertentangan kepercayaan (Foster 1977:528).  Ini yang membuat Indonesia sebagai negara multikultural masih bergelut dengan kasus kusta. Fakta kusta terbanyak di Papua bisa jadi seumur dengan kusta yang ditemukan pada peradaban dunia kuno oleh alasan arkeologis bahwa dalam fase kemunculan penyakit, umumnya bergerak lambat tetapi serentak, disebabkan migrasi peperangan atau kesenjangan sosial antarbenua.

Perlu pendekatan kreatif

Pandangan psikologi kesehatan, pengakuan sehatnya seseorang, sama kedudukannya akan pengakuan sakitnya seseorang. Perlu gagasan biopsikososial untuk memahami sehat dan sakit (Engel, 1977). Kemudian, proposisi dalam teori sosialisasi kelompok oleh JR.Harris (1995) membuktikan kelompok teman sebaya (peer group) merupakan pengaruh lingkungan utama terhadap fungsi psikologis.

Proposisi psikologi ini dapat dikonversi kepada kehidupan penderita kusta, misal inisiasi pembentukan ikatan kekerabatan penderita kusta atau terminologi lainnya, karena setiap manusia membutuhkan aktualisasi (Maslow,1943) termasuk penderita kusta yang secara nasib, dibedakan oleh stigmatisasi lingkungan. Hadirnya komunitas sesama penderita memungkinkan adanya keterampilan sosial, diperoleh melalui kompleksnya interaksi sosiologis agar mampu menyelami diri sebagai penderita kusta dan sesamanya, memahami dan mengatasi masalah kesakitan yang dialaminya. Ini melibatkan kesadaran individu tentang masalah kesakitan, serta kemauan untuk mengakui keberadaan masalah tersebut kepada diri sendiri dan mungkin juga kepada orang lain, seperti keluarga inti (nuclear family), teman, bahkan terhadap profesional kesehatan.

Dalil interpretatif simbolik dari Clifford T.Geertz (1973) yang pernah bermukim di Bali bersama istrinya dapat disemiotikakan (thin description) perihal pola keseharian penderita kusta, memiliki spirit hidup meskipun dengan keterbatasan jasmani. Dari aspek emic views di Kota Makassar, penderita memiliki komunitas, berkumpul 2-4 orang di tempat strategis dan memastikan jarak aman secara psikososial mengais rezeki, rerata jam 10an mulai aktif di jalan raya oleh alasan tak ingin turut memacetkan lalu lintas saat orang kantoran, dan lain-lain, beranjak ke tempat kerja masing-masing di awal pagi.

Mereka ini cerdas atas bimbingan adaptasi bioekologis! Piawai menutupi organ ‘termutilasi’ oleh rambatan bakteri mikro dengan kain (perilaku etis) sebagai upaya menghindari pandangan mata orang lain yang berpeluang mencibir dan menyudutkannya. Secara alamiah, mereka memiliki Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), tinggallah menanti negara dan masyarakat sebagai sistem pendukung utama untuk memberikan rumusan berbasis kultural kepada segenap penderita kusta atas nama humanisme dan kesehatan masyarakat.

Muh.Arsyad Rahman
Doktor Antropologi dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *