Kesehatan Mental Atlet: Tantangan di Balik Gemerlap Prestasi

photo: pinterest

Di balik gemerlap medali dan sorak-sorai penonton, ada kisah yang sering terabaikan: perjuangan para atlet menjaga kesehatan mental mereka. Tekanan untuk menang, ekspektasi publik, serta jadwal latihan yang ketat sering kali menjadi beban yang berat. Sayangnya, isu ini masih kurang mendapat perhatian, meskipun dampaknya sangat nyata.

Menurut laporan dari Athletes for Hope, sekitar 35% atlet elit di dunia mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau stres kronis. Angka ini menunjukkan bahwa kesehatan mental adalah masalah serius yang tak kalah penting dari kesehatan fisik. Di Indonesia, perbincangan mengenai hal ini mulai muncul setelah beberapa atlet nasional secara terbuka berbicara tentang tekanan psikologis yang mereka alami selama karier mereka.

Salah satu contoh kasus yang menarik perhatian adalah ketika atlet bulu tangkis Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung, menceritakan perjuangannya menghadapi tekanan mental saat bertanding di turnamen internasional. Dalam wawancaranya, ia mengungkapkan bahwa kekalahan sering kali membawa perasaan bersalah dan takut mengecewakan orang-orang yang mendukungnya. Hal ini menciptakan lingkaran stres yang sulit diatasi tanpa dukungan yang tepat.

Di tingkat global, atlet ternama seperti Simone Biles, seorang pesenam Amerika Serikat, juga menjadi sorotan ketika ia menarik diri dari Olimpiade Tokyo 2020 karena alasan kesehatan mental. Keputusannya memunculkan diskusi luas tentang pentingnya prioritas kesehatan mental, bahkan di tengah tekanan untuk tampil di panggung terbesar dunia.

Para ahli kesehatan mental menyatakan bahwa kondisi ini sering diperparah oleh stigma yang melekat. Banyak atlet merasa enggan mencari bantuan profesional karena takut dianggap lemah atau tidak kompeten. Padahal, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kebugaran fisik.

Pemerintah dan lembaga olahraga kini mulai mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini. Di Indonesia, beberapa klub olahraga besar sudah menyediakan akses ke konselor atau psikolog bagi para atletnya. Program seperti ini diharapkan dapat membantu atlet untuk berbicara secara terbuka tentang masalah yang mereka hadapi tanpa rasa takut atau malu.

Namun, solusi ini tentu perlu didukung oleh perubahan budaya. Masyarakat juga perlu mengurangi tekanan berlebihan pada atlet, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Journal of Sport Psychology menyebutkan bahwa komentar negatif di media sosial dapat memperburuk kondisi mental atlet hingga 25%.

Menjadi atlet bukan hanya soal mencetak rekor atau memenangkan kejuaraan. Lebih dari itu, mereka adalah individu dengan emosi dan kerentanan yang sama seperti kita semua. Dukungan dari keluarga, pelatih, rekan tim, dan masyarakat sangatlah penting untuk memastikan mereka tidak hanya sukses di arena, tetapi juga bahagia dalam kehidupan mereka.

Kesehatan mental bukanlah tabu. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan menuju prestasi. Sudah saatnya kita membuka mata dan memberikan ruang bagi para atlet untuk berbicara, mendengarkan, dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Karena di balik medali emas yang bersinar, ada hati yang berjuang untuk tetap tegar.

Penulis: Andi Putri Cahaya NingrumEditor: Andi Putri Cahaya Ningrum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *