Literasi Kesehatan, Sebuah Keharusan Bagi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

Dengan memakai bahasa sederhana, literasi kesehatan ialah kemampuan seseorang membaca dan menganalisa informasi kesehatan, bukan informasi prokesakitan. Hermeneutiknya bahwa orientasi kualitas hidup mesti disandarkan pada nilai-nilai kesehatan masyarakat. Penulis mengapresiasi website ini lantaran fokus utamanya pada basis industri kesehatan dan penyehatan manusia. Tipikal pembangunan kesehatan di Indonesia dan juga negara tetangga, sekian lama memakai paradigma lama yakni tolok-ukur pada seberapa banyak orang dapat disembuhkan. Sehingga. pendirian pusat pengobatan modern didesakkan dengan pelbagai penariknya. Namun, populasi yang disembuhkan itu tidaklah tergolong manusia sehat. Mereka barulah pada tahap pemulihan/penyembuhan dan dibayar super mahal oleh ongkos pengobatan beserta pembayaran-pembayaran ekstra yang mengikutinya.

Pertimbangan ini menginspirasi B.J. Habibie di tahun 1999, Wakil Presiden saat itu, dan membuat terobosan inovatif yakni pembangunan kesehatan mesti menggunakan paradigma baru yakni intervensi kesehatan mesti berpusat  pada sentra-sentra kesehatan masyarakat dengan bahasa spesialnya: prioritas promosi kesehatan dan preventif oleh lelahnya layanan pengobatan yang tak kunjung selesai.

Beririsan

Tak dapat dipungkiri bahwa secara historis ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat adalah beririsan tetapi keduanya sangat jauh perbedaan dalam hal garapan, area, dan obyek. Di mana ilmu kedokteran adalah relasi man to man, sedang ilmu kesehatan masyarakat interkonesitas pada level populasi, dan semua orang`memiliki tanggungjawab yang sama (egaliter-horizontal). Selama ini. sebahagian orang dihinggapi salah kaprah bahwa keduanya adalah sama, padahal sesungguhnya sangatlah berbeda di antara persamaan paralelnya bahwa keduanya menganalisi kesehatan manusia.

Penulis dapat mencontohkannya pada sebuah buku: Antropologi Kesahatan yang aslinya sesungguhnya adalah Antropologi Medis. Yang menggelikan baik pada Antropologi Kesehatan maupun Antropologi Medis, keduanya membahas penyakit, bukan kesehatan. Maka tampaklah bahwa jangankan orang awam, penulis buku terkemuka di dunia pun turut salah sangka perihal apa itu sesungguhnya kesehatan. Dengan cases ini, maka diperlukan literasi kesehatan khususnya praktisi kesehatan dan mahasiswa kesehatan masyarakat guna meluruskan apa hakikat kesehatan masyarakat.

Sakit itu aib

Untuk keperluan kampanye kesehatan masyarakat se-dunia, nampaknya kita harus kembali kepada studi antropologi bahwa setiap orang dapat atau tak dapat melakukan sesuatu didasarkan pada “nilai”. Nilai adalah perkara mendasar pada kehidupan manusia. Ini titah Bapak Antropologi Dunia, Edward Bennard Tylor (18710 bahwa budaya adalah sekumpulan  persepsi, norma, nilai, pengetahuan, hukum, kebiasaan, tradisi, adat yang dianut dan berkembang pada suatu masyarakat atau bangsa. Tylor menggunakan ensiklopedi “Holistik” dengan arti sederhananya menurut Munsi Lampe (2019) Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin yakni “telah cukup tetapi butuh tambahan-tambahan lain.”

Dengan berpijak pada satu unsur budaya (antropologi) yakni nilai, maka sesungguhnya nilai adalah kata sakral khususnya dalam kajian antropologi kesehatan. Mengapa sakral? Sebab dengan nilai orang berpotensi mengubah perilakunya termasuk dalam soal sakit, penyakit, dan kesakitan. Belumkah kita memahami bahwa sesungguhnya setiap individu yang sakit maka sejatinya ia kehilangan fungsi sosial? Ketiadaan fungsi sosial itu, mengindikasikan ia memiliki kelemahan besar pada diri seseorang (fisik dan mental) sebab tak mampu menjalankan fungsinya sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan jika menukik pada istilah lain maka ia tak tergolong “republik” karena ia tak dapat menjalankan perannya sebagai “Kembali ke Rakyat”.

Dengan tilikan ini, penulis menawarkan sebuah nilai modern bahwa sesungguhnya “Sakit Itu Aib” tetapi kita masih jauh dari kata sadar tentang ini. Mengapa demikian? Karena sakit di suatu bangsa masihlah dipersepsikan hal lumrah, biasa dan wajar sebagai konsekuensi dari sakit, identik dengan mati yang merupakan risiko dari hidup! Padahal, sakit itu abnormal, ada kelainan pada tubuh atau mental!

Pendekatan persuasif penyadaran

Sesungguhnya secara epistemiologi dan aksiologi sehat itu sederhana, tetapi sakit itu rumit. Namun, orang terbuai memilih yang rumit karena menganggapnya akan sehat juga setelah menjalani perawatan di sentra-sentra pusat pengobatan, padahal tiada orang sakit bisa langsung sehat, adanya adalah sembuh. Sesungguhnya lagi, sakit adalah pintu gerbang menuju kesembuhan atau kematian. Sisi lain, keutamaan pada pelayanan pengobatan karena kemampuan dalam kecepatan diagnosa bahwa sesorang itu sakit karena salah satu bagian organnya atau ruhaniahnya tak berfungsi ideal, sedangkan untuk mendiagnosa seseorang sehat cukup abstrak karena jika ada tiga orang dipertemukan maka ketiganya secara kasat mata sehat tetapi siapa di antara mereka yang “tersehat?” Itu butuh pendekatan kelimuan holistik dan pelbagai sudut pandang. Namun, setidaknya dengan “obrolan” sehat dan kesehatan, kita telah berani menyatakan: “GoodbyE old parAdigm!”

Jika demikian, kita sangat perlu pendekatan persuasif penyadaran kepada setiap warga negara berkewajiban untuk didesakkan upaya ekstra dalam proses penyadaran sebab sehat adalah hak asasi. Katakanlah itu, promosi kesehtan dan preventif merupakan upaya terus-menerus individu atau keluarga untuk melakukan penghindaran sejauh-jauhnya dari ancaman penyakit. Sebab dalam studi antropologi menegaskan bahwa satu-satunya ancaman laten pada manusia adalah ancaman penyakit.

Olehnya, praktisi kesehatan dan para mahasiswa kesehatan masyarakat mutlak memahami secara adekuat bagaimana literasi kesehatan itu bisa bekerja sepanjang hayat lantaran tuna literasi kesehatan akan menghantar kita kembali ke kubangan paradigma lama yang secara suka rela membiarkan segala faktor risiko penyakit menghampiri kita, dan membuat kita terjatuh lagi dalam derita jasmani dan sengsara mental.

Muh.Arsyad Rahman
Doktor Antropologi dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *