Karena berbagai alasan yang saling terkait, baik dari perspektif individu, komunitas, maupun sistem kesehatan secara keseluruhan, budaya pencegahan penyakit seringkali sulit diterapkan. Sebab, dibutuhkan studi antropologi sebagai basis perubahan perilaku masyarakat. Dengan demikian bahwa terjadi resitensi budaya preventif dan promotif, dan membelakangi motto: “Lebih baik mencegah daripada mengobati” dan realitas sosial-budayanya: “Lebih baik mengobati daripada mencegah”.
Budaya memainkan peran besar dalam menentukan cara masyarakat memandang kesehatan dan penyakit. Dalam beberapa masyarakat, kepercayaan tradisional atau religius dapat menghambat adopsi praktik pencegahan modern. Sebagai contoh, di beberapa masyarakat, penyakit sering dikaitkan dengan takdir, kutukan, atau intervensi ilahi; hal ini mengurangi keinginan untuk melakukan tindakan pencegahan yang rasional.
Pengobatan pencegahan seperti vaksinasi tidak diterima secara luas karena kepercayaan pada penyembuhan tradisional sering kali lebih besar daripada intervensi medis, menurut penelitian yang dilakukan di Afrika Sub-Sahara.
Mempertanyakan Sistem Kesehatan
Sejak kita merdeka, sistem kesehatan tidak mengalami perbaikan secara siginifikan, hak kesehatan masyarakat masih terabaikan tetapi kewajiban warga untuk berobat menjadi primadona sebagai komoditas (sistem kapitalisme) yang maraup keuntungan finansial bersumber dari penyakit, pengobatan atau rehabilitatif sehingga pendirian rumahsakit menjadi jawabannya. Padahal jika sebuah area yang didirikan rumahsakit, itu maknanya bahwa di sekitar rumahsakit itu penuh dengan masalah kesakitan, bukan kesehatan.
Sistem kesehatan Indonesia belum mengalami kemajuan signifikan sejak merdeka. Hak atas kesehatan yang layak masih menjadi masalah besar bagi masyarakat. Dalam konteks ini, kewajiban individu untuk berobat telah bertransformasi menjadi komoditas dalam sistem kapitalisme, di mana keuntungan finansial dihasilkan dari penyakit dan layanan kesehatan. Fenomena ini menciptakan situasi di mana rumah sakit didirikan sebagai solusi, namun hal ini justru mencerminkan adanya masalah kesehatan yang mendalam di sekitar fasilitas tersebut.
Studi menunjukkan bahwa keberadaan rumah sakit seringkali berkorelasi positif dengan tingkat penyakit di sekitarnya. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan bahwa daerah dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan dasar cenderung memiliki tingkat penyakit yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa membangun rumah sakit tidak selalu merupakan indikator kesehatan masyarakat yang baik, tetapi seringkali merupakan indikator yang tidak tepat.
Mengapa realitas budaya kita “Lebih baik mengobati daripada mencegah”
Berbagai perspektif, termasuk antropologi kesehatan, dapat digunakan untuk memahami realitas sosial budaya kita yang cenderung mengutamakan prinsip “lebih baik mengobati daripada mencegah”. Dalam banyak budaya, orang percaya bahwa penyakit adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, sehingga pengobatan adalah satu-satunya pilihan. Penelitian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh Paul Farmer, mengatakan bahwa masyarakat sering menganggap penyakit sebagai nasib atau akibat dari kekuatan yang lebih besar, seperti Tuhan atau takdir. Ini mengakibatkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pencegahan karena banyak orang berkonsentrasi pada menyelesaikan masalah yang sudah ada daripada mencegah masalah tersebut muncul.
Stigma seputar penyakit juga memengaruhi sikap masyarakat. Banyak orang takut melakukan pencegahan karena mereka dianggap “lemah” atau “berpenyakit”. Studi menunjukkan bahwa stigma ini menghalangi orang untuk proaktif menjaga kesehatan mereka. Dalam banyak kasus, masyarakat lebih memilih untuk menunggu sampai penyakit muncul sebelum mereka mencari solusi, sehingga memperkuat pola “mengobati daripada mencegah.”
Media juga memengaruhi persepsi masyarakat tentang kesehatan. Sering kali, kasus penyakit dan pengobatan lebih diutamakan daripada upaya pencegahan. Ini menunjukkan bahwa pengobatan adalah satu-satunya metode untuk menangani masalah kesehatan.
Kisah-kisah yang mendominasi, di mana pencegahan dianggap tidak menarik atau tidak penting, juga dapat memperkuat ketidakberdayaan dalam menghadapi penyakit.
Bukti di beberapa platform media sosial, yaitu hadirnya penawaran-penawaran pengobatan diabetes, penyakit sendi, kanker dan lain-lain yang ditampilkan tokoh nasional, artis, bahkan ulama.
Perspektif Kesehatan dan Pendekatan Antropologi
Media sosial sangat efektif untuk menyebarkan informasi kesehatan yang benar dan palsu. Studi menunjukkan bahwa penyebaran informasi kesehatan di media sosial dapat memengaruhi perilaku masyarakat, seperti keputusan untuk menerima pengobatan atau terapi tertentu. Bahkan tanpa bukti ilmiah, tokoh publik sering mempromosikan barang atau layanan kesehatan.
Artis, ulama, dan tokoh nasional sangat memengaruhi pendapat publik. Mereka yang mempromosikan produk atau pengobatan alternatif cenderung lebih percaya diri dan terpengaruh untuk mencoba metode tersebut. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa orang sering mengaitkan kredibilitas dan kepercayaan pada orang yang mereka idolakan. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung keefektifan produk kesehatan, penelitian menunjukkan bahwa dukungan publik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Mengubah paradigma dari “lebih baik mengobati daripada mencegah” memerlukan pendekatan multidimensional yang melibatkan perubahan dalam sistem kesehatan, pendidikan, dan peningkatan akses ke layanan pencegahan. Dengan memahami konteks sosial dan budaya yang mendasari pandangan ini, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efisien untuk mempromosikan kesehatan dan pencegahan dalam masyarakat.
Fokus antropologi adalah memahami konteks budaya di sekitar praktik kesehatan. Dalam kasus seperti ini, nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan norma masyarakat yang sering dikaitkan dengan pengobatan yang dipromosikan di media sosial. Misalnya, banyak budaya bergantung pada tokoh publik untuk memberikan legitimasi untuk praktik kesehatan. Oleh karena itu, penelitian antropologis dapat meneliti bagaimana nilai-nilai ini memengaruhi cara masyarakat melihat pengobatan yang diberikan. Ini jelas keliru! Lantaran masyarakat dirayu untuk menengerkan nilai-nilai (values) yang tidak pro-kesehatan. Maka sebaiknya, kita merenung untuk kembali hakikat manusia bahwa sehat dan kesehatan adalah hak asasi orisinal.
Doktor Antropologi dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar.