Obesitas Pada Remaja : Bahaya Kebiasaan Mengonsumsi Fast Food

Fat man enjoy with a lot of fast food on the table. Illustration about overeating.

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi berat badan lebih pada remaja usia 16-18 tahun di Indonesia mencapai 9,5%. Sementara itu, prevalensi obesitas pada kelompok usia yang sama adalah 4%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibanding Laporan Riskesdas tahun 2013, di mana hanya 5,7% remaja mengalami berat badan lebih dan 1,6% mengalami obesitas.

Obesitas dapat muncul dari banyak penyebab. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa obesitas berkaitan dengan faktor genetik, gaya hidup yang tidak sehat, dan efek samping dari obat-obatan tertentu. Faktor lingkungan seperti pola makan dan tingkat aktivitas fisik juga sangat penting. Konsumsi makanan yang tinggi kalori menjadi penyebab utama peningkatan berat badan. Pada remaja, kebiasaan makan fast food lebih dari tiga kali seminggu dapat meningkatkan risiko obesitas hingga 1.829 kali lipat.

Makanan cepat saji, yang lebih dikenal sebagai fast food, kini menjadi pilihan banyak remaja. Kepraktisan dan rasa yang enak yang diberikan membuat fast food jadi cara mudah untuk memenuhi kebutuhan makan. Namun, pola makan ini berisiko tinggi, salah satunya adalah meningkatnya prevalensi obesitas di kalangan remaja.

Fast food adalah jenis makanan yang disiapkan dengan cepat, mudah untuk ditemukan, dan cukup murah. Banyak restoran fast food yang ada menawarkan pilihan menu menarik, seperti burger, kentang goreng, pizza, dan minuman soda. Remaja menjadi salah satu kelompok utama yang mengonsumsi jenis makanan ini karena gaya hidup mereka yang sibuk dan pengaruh tren sosial.

Ketersediaan fast food yang tinggi, ditambah dengan iklan yang menarik dan diskon khusus, mendorong konsumsi berlebih. Selain itu, kegiatan sosial seperti nongkrong bersama teman sering kali terjadi di restoran fast food, menjadikan tempat ini sebagai pusat aktivitas sosial remaja.

Hubungan Fast food dan Obesitas

Obesitas terjadi ketika tubuh menerima lebih banyak kalori daripada yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari dalam waktu yang lama. Makanan cepat saji, atau fast food, biasanya memiliki kandungan kalori, lemak jenuh, gula, dan garam yang sangat tinggi. Sebagai gambaran, satu set menu fast food seperti burger besar, kentang goreng, dan soda bisa mengandung lebih dari 1.000 kalori—jumlah ini setara dengan setengah hingga tiga perempat kebutuhan kalori harian seorang remaja.

Sayangnya, fast food juga cenderung rendah nutrisi penting seperti serat, vitamin, dan mineral. Akibatnya, kelebihan kalori ini akan disimpan tubuh sebagai lemak, yang akhirnya menyebabkan kenaikan berat badan. Jika kebiasaan ini terjadi berulang kali, terutama tanpa diimbangi olahraga atau aktivitas fisik yang cukup, risiko obesitas pada remaja meningkat secara signifikan. Adapun faktor lainnya yang dapat mendorong remaja untuk mengonsumsi fast food yaitu sebagai berikut :

  • Gaya Hidup Modern
    Rutinitas remaja yang padat dengan aktivitas sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan hiburan sering kali membuat mereka mencari makanan yang cepat dan praktis. Fast food menjadi pilihan karena mudah diakses dan tidak memakan banyak waktu untuk disiapkan atau dikonsumsi.
  • Daya Tarik Iklan dan Media Sosial
    Promosi fast food yang menarik, mulai dari gambar yang menggoda hingga diskon menggiurkan, sering kali ditargetkan pada remaja. Media sosial juga memperkuat pengaruh ini, terutama melalui influencer yang mempromosikan produk fast food dengan cara yang tampak keren dan menarik.
  • Kurangnya Pengetahuan tentang Gizi
    Banyak remaja belum sepenuhnya memahami pentingnya pola makan sehat dan risiko jangka panjang dari konsumsi makanan berkalori tinggi. Tanpa edukasi yang memadai di rumah atau sekolah, mereka cenderung kesulitan membuat pilihan makanan yang sehat dan seimbang.
  • Pengaruh Lingkungan Sekitar
    Lingkungan sosial, seperti teman dan keluarga yang sering memilih makanan cepat saji, juga turut membentuk kebiasaan makan remaja. Ketika fast food menjadi bagian dari rutinitas bersama, remaja lebih cenderung mengikutinya.

Obesitas pada remaja membawa dampak serius, baik bagi kesehatan fisik maupun mental. Dari sisi fisik, obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung, bahkan sejak usia muda. Gangguan pada pernapasan dan postur tubuh juga sering menjadi konsekuensi tambahan dari kondisi ini.

Sedangkan dari aspek psikologis, remaja dengan obesitas kerap menghadapi stigma sosial, perasaan rendah diri, serta gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan emosional, tetapi juga berdampak pada prestasi akademik dan hubungan sosial mereka.

Maka dari itu, dalam mengatasi masalah ini, diperlukan sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Edukasi yang baik serta lingkungan yang mendukung dapat membantu remaja memilih makanan yang lebih sehat dan menjalani gaya hidup yang lebih aktif. Dengan langkah kecil seperti mengubah pola makan dan menambahkan aktivitas fisik dalam keseharian, kita dapat menciptakan perubahan besar untuk mencegah obesitas dan meningkatkan kualitas hidup remaja di masa depan. Jadi, siapkah Anda memulai langkah ini untuk mendukung masa depan mereka?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *